Surabaya, suara publik - Dua lagi terdakwa kasus mafia tanah masing-masing dihukum pidana enam bulan penjara. Keduanya yakni, Samsul Hadi dan Subagyo. Sama dengan terdakwa Djerman Prasetyawan, mereka juga dianggap memalsukan surat-surat untuk mengurus permohonan penerbitan sertifikat tanah.
"Mengadili, menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan surat secara bersama-sama," ujar ketua majelis hakim Itong Isnaeni Hidayat saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (21/10/2021).
Hukuman ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum. Jaksa Darwis sebelumnya menuntut Subagyo pidana 3,5 tahun penjara. Sedangkan Samsul Hadi dituntut pidana 2,5 tahun penjara. Kedua terdakwa yang tidak didampingi pengacara sama-sama menerima putusan tersebut. Mereka tidak banding.
"Menerima Yang Mulia," ujar Subagyo dalam persidangan.
Sementara itu, jaksa Darwis langsung menyatakan banding. Menurut dia, putusan ringan tersebut sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan. Terutama bagi masyarakat yang tengah memperjuangkan tanahnya. "Jauh sekali dari 3,5 tahun hanya diambil enam bulannya saja. Tidak memenuhi rasa keadilan," kata jaksa Darwis saat dikonfirmasi seusai persidangan.
Samsul Hadi yang merupakan anak Remu awalnya menemukan surat pernyataan pengoperan hak tanah tambak dari Aspan Asmorejo/Siti Marwiyah kepada Remu/Sukami atas sebidang tanah tambak seluas 30.000 meter persegi di Manukan Wetan. Padahal, pada 20 September 1989 Remu menjual habis tanah tersebut ke Teddy Gunawan di hadapan notaris. Namun peralihannya tidak tercatat di buku C kelurahan dan masih tercatat atas nama Remu.
Samsul yang tidak tahu lokasi tanahnya bercerita kepada temannya, Subagyo saat reuni sekolah. Keduanya sempat pergi ke kantor Kelurahan Manukan Wetan untuk mengurusnya, tetapi tidak menemukan hasil. Subagyo yang mantan lurah di Gresik berkenalan dengan Djerman yang siap menjadi pendana pengurusan tanah tersebut.
Mereka kemudian bersiasat dengan membuat skenario untuk menguasai tanah tersebut. Para terdakwa membuat perjanjian kerjasama seolah-olah Remu sebagai pemilik surat pengoperan tanah menerima Rp 15 miliar dari Indriati. Kenyataannya Remu tidak pernah membuat surat perjanjian itu. Ahli warisnya juga merasa tidak pernah menerima uang apapun. Indriati juga mengaku tidak tahu-menahu.
Terdakwa kemudian membuat ikatan jual beli di hadapan notaris antara Remu dengan Indriati. Remu seolah-olah menjual tanah seluas 30.000 meter persegi itu kepada Indriati seharga Rp 30 miliar. Padahal, Remu merasa tidak pernah menerima uang apapun. Samsul Hadi yang berperan sebagai ahli waris Remu lantas membuat surat pernyataan bersedia menandatangani ikatan jual beli. Surat itu hanya rekayasa untuk mempersiapkan gugatan di pengadilan.
Terdakwa kemudian mengajukan gugatan di PN Surabaya. Seolah-olah Indriati menggugat Remu karena tidak memenuhi perjanjian jual beli. Setelah itu terbit putusan pengadilan yang menyatakan Indriati dapat menguasai tanah atas nama Ichsan/ Siti Marwiyah dan berhak mengajukan permohonan sertifikat hak milik. Hingga akhirnya terbit sita eksekusi dari pengadilan terhadap tanah tersebut untuk Indriati.
Setelah tanah itu benar-benar dikuasai Indriati, Djerman membuat surat seolah-olah pernjanjian jual beli antara Indriati dengannya. Namun, dalam perjanjian itu, lokasi tanah yang sebenarnya di Manukan Wetan dibuat seolah-olah di Manukan Kulon. Djerman juga seolah-olah sudah membeli Rp 37,5 miliar. Padahal, Indriati hanya menerima Rp 500 juta. Djerman kemudian mengajukan permohonan peta bidang ke Kantah Surabaya I dengan membuat tiga surat palsu.(Sam)
Editor : Redaksi