SURABAYA, (SUARA PUBLIK.COM) - Paket belanja mamin (makanan dan minuman) selama 2 tahun, anggaran 2020 dan 2021, pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Jatim diduga sarat penyimpangan. Tentu saja, praktek kotor tersebut patut diusut. Tengara ini, dilontarkan seorang sumber yang berlatarbelakang pegiat LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Menurutnya, dari kisaran Rp 756 juta pagu mamin yang dianggarkan Disbudpar Jatim pada dua periode (2020 dan 2021) sedikitnya ada dua aspek penting yang layak dikritisi. "Yakni, soal metode pengadaan dan transparansi anggaran," katanya.
Dari anggaran sebesar itu, tegas sumber, Disbudpar Pemprov Jatim sepertinya sengaja mengambil resiko yang tidak ringan. Yakni resiko menabrak hukum pengadaan barang dan jasa Pemerintah, serta resiko pidana atas dugaan terjadinya penyimpangan anggaran.
Adalah soal metode pengadaan. Pada resiko pertama ini, tutur sumber, Disbudpar Pemprov Jatim diduga kuat menabrak ketentuan karena melaksanakan belanja mamin dengan memakai sistem metode swakelola tipe 1.
Sebagaimana Peraturan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang dan jasa Pemerintah) nomer 8/2018 tentang pedoman swakelola, sitir sumber, dimana pada bab ketentuan umum pasal 1 ayat 2 ditegaskan, yang dimaksud swakelola adalah cara memperoleh barang dengan cara dikerjakan sendiri oleh KLPD (Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah).
Sedang yang dimaksud dengan swakelola tipe 1, lanjutnya, adalah swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, serta di awasi oleh KLPD sebagai penanggungjawab anggaran. "Pertanyaannya, apa bisa belanja mamin dilakukan lewat swakelola tipe 1? "sumber melempar tanya.
Ia pun berani memastikan bahwa puluhan paket swakelola tipe 1 pada belanja mamin Disbudpar Jatim yang menembus pagu hingga Rp 756 juta tersebut salah dan berpotensi menabrak kontruksi hukum positif.
"Setiap bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku, pasti ada sanksinya. Soal apakah bersifat administrasi atau pidana, itu bergantung pada pemenuhan unsur kejahatan. Yang pasti, sejauh ini rujukan swakelola Pemerintah ya hanya itu (Peraturan LKPP 8/2018, red). Kecuali ada rujukan lain, ya silahkan saja argumen saya dibantah, "yakin sumber.
Jika benar Peraturan tersebut adalah satu-satunya rujukan swakelola Pemerintah, tutur sumber, maka swakelola tipe 1 pada paket mamin Disbudpar Pemprov Jatim terbilang tidak masuk akal karena tidak mungkin bisa terlaksana.
"Apa mungkin Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bertindak selaku juru masak? Karena swakelola tipe 1 kan harus dikerjakan sendiri oleh dinas? Kalau pun mungkin, itu jelas menyalahi tupoksi kedinasan, karena pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak ada bidang tugas urusan masak memasak. Saya tidak tahu, ini bentuk kesalahan yang disengaja dalam rangka kepentingan tertentu, atau bagaimana? "ucapnya.
Sumber menilai, dari sekian aspek dan pertimbangan yang ada, belanja mamin seharusnya dilaksanakan lewat pintu Pengadaan Langsung (PL). Ini karena struktur organisasi Disbudpar Pemprov Jatim tidak ada bidang tugas urusan masak memasak, sehingga pelaksanaan paket harus melibatkan pihak ketiga atau penyedia.
Sedang mekanisme Pengadaan Langsung berlaku ketentuan, lanjut sumber, bahwa untuk belanja paling banyak Rp 10 juta cukup dengan dukungan nota, sedang belanja paling banyak Rp 50 juta harus ada kwitansi, sementara belanja lebih dari 50 juta (dan paling banyak Rp 200 juta) harus bersifat kontraktual dengan pihak penyedia (rekanan).
"Nah, jika paket mamin dilakukan lewat swakelola tipe 1, maka mekanisme pada Pengadaan Langsung (PL) tidak berlaku. Jika itu yang terjadi, maka paket dengan pagu di atas Rp 50 juta dilakukan tanpa rekanan, dan itu artinya Disbudpar Pemprov Jatim bisa leluasa mengatur harga pembelian mamin. Saya kira itu bukan rahasia umum lagi, meski semuanya harus dibuktikan lewat validasi harga pasar, "ujarnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Suarapublik.com dari laman Sirup LKPP 2020, sedikitnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Jatim telah merilis 10 paket mamin dengan total pagu mencapai kisaran Rp 194 juta lebih. Sedangkan, pada tahun anggaran 2021, tercatat 14 paket Mamin dengan total pagu sebesar Rp 562 juta lebih.
Dari sejumlah itu, tercatat ada beberapa paket yang terlihat janggal dan tidak transparan. Misal, pada tahun anggaran 2020, terdapat 3 paket mamin dengan kode Rup 24105652, 24105666 dan 24137426, tidak menjelaskan secara rinci jumlah orang yang mendapatkan konsumsi dalam rapat tersebut.
Kemudian, pada tahun anggaran 2021, Disbudpar lagi-lagi tidak menjelaskan rincian peserta yang mendapatkan mamin dalam rapat tersebut. Sedikitnya 2 paket, dengan kode Rup 25302531 dan 25670918.
Lalu, bagaimana praktik yang terjadi dilapangan? benarkah paket mamin sebesar itu oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Jatim dikerjakan sendiri ? Jika misalnya mamin dibeli dari pihak ketiga, lalu kenapa paket disebut swakelola tipe 1 ? Juga, jika benar mamin dibeli dari pihak ketiga, berapa harga satuan yang ditetapkan dinas tersebut berdasarkan nota pembelian?
Sejumlah pertanyaan tersebut layak dilayangkan karena kemungkinan terjadi selisih harga antara nota belanja dan validasi pasar sangat terbuka lebar. Sebut saja misalnya terjadi selisih harga Rp 10 ribu per item nasi kotak, maka ratusan juta rupiah anggaran negara dipastikan raib karena di korupsi.
Dikonfirmasi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Jatim, Sinarto, S. Kar, MM menanggapi dugaan ini, pihaknya langsung memblokir nomor Whatsapp Wartawan Suara Publik. Namun, ada salah satu pejabat Kasubag Keuangan, Sujoko, memberikan jawaban yang tak jelas.
"Mohon ijin dan mhn maaf, sy klarifikasi bahwa pekerjaan penyediaan mamin utk kegiatan yg dilakukan disbudpar semuanya melalui penyedia jasa sesuai aturan dan pedoman yg berlaku," ujarnya secara tertulis via pesan whatsapp.
Saat disinggung nama perusahaan yang melaksanakan kegiatan tersebut, sebab ada beberapa paket paket mamin dalam jumlah yang banyak dan bukti laporan nya, sayangnya Sujoko diam seribu bahasa alias membungkam. (Dre)
Editor : Redaksi