SURABAYA, (suarapublik.com) – Seorang pegiat LSM yang berkantor dikawasan Bagong Surabaya, menyebutkan, banyak pihak terutama kalangan K/L/PD (Kementerian, Lembaga, dan Perangkat Daerah), yang masih menganggap remeh posisi hukum lembaga otoritas bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah seperti LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan barang dan jasa Pemerintah).
Padahal dari sisi konstruksi hukum positif, tegasnya, kedudukan LKPP sudah demikian jelas sebagaimana amanat Perpres (Peraturan Presiden) 16/2018 yang telah diperbarui dengan Perpres 12/2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pada ketentuan bab umum pasal 1 angka 6 ditegaskan, LKPP adalah lembaga pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Sedang kan, pada angka 3 pasal 1 ditegaskan, yang dimaksud dengan lembaga adalah organisasi non kementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan undang-undang dasar 1945 atau peraturan perundang-undangan lainya.
“Dengan demikian LKPP adalah lembaga otoritas bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah, “tegas pentolan LSM yang alumnus ITS Surabaya itu.
Dalam kaitan sebagai otoritas negara, lanjutnya, maka seluruh produk kebijakan LKPP adalah produk hukum. Tak terkecuali sirup (sistem informasi rencana pengadaan) LKPP. Web laman elektronik yang berisi daftar pengadaan barang dan jasa pemerintah dilingkup KLPD (Kementerian, Lembaga, Perangkat Daerah) se Indonesia itu tidak bisa dipandang sebagai pajangan informasi biasa. “Jika kemudian ada yang salah input data pada sirup, maka itu setara dengan delik pembohongan publik, “ujarnya.
Sejauh perkembangan yang ia ikuti, tuturnya, selama ini banyak SKPD atau Dinas ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, yang melakukan kesalahan itu tanpa pernah ada upaya pembenahan. “Mereka (Dinas) berdalih terjadi salah input data pada sirup, atau terjadi human error. Jika benar itu adalah human error dan tidak ada upaya pembenahan, apa itu berarti laman sirup LKPP boleh disebut informasi sampah? Jika itu sampah, maka Perpresnya juga sampah dong, “nadanya bertanya.
Dalih human error atau salah input data itu sedikitnya telah dipilih Disbudpar Jatim terkait sejumlah paket pengadaan yang diakui salah dan terlanjur masuk sirup LKPP. Salah satunya adalah paket belanja mamin. Pada laman sirup LKPP 2020 dan 2021, Disbudpar Jatim telah menyebut sejumlah paket mamin dilaksankan dengan metode swakelola tipe 1. Tapi oleh Pejabat Pengadaan Disbudpar Jatim, data tersebut dibantah dan diklaim terjadi salah input data atau terjadi human error.
Selain mamin, sejumlah paket pengadaan barang Disbudpar Jatim yang lain juga dilangsungkan lewat swakelola tipe 1. Antara lain adalah belanja alat/bahan ATK, belanja souvenir, belanja jasa pencucian pakaian, belanja pemeliharaan alat angkutan, belanja pemeliharaan peralatan dan mesin, belanja sewa alat rumah tangga lainnya, belanja cetak dan/atau penggandaan, belanja pemeliharaan instalasi, serta belanja bahan-bahan bakar dan pelumas.
Berdasarkan data sirup LKPP 2020, Disbudpar Jatim tercatat telah melangsungkan belanja bahan-bahan bakar minyak dan pelumas, kode RUP 24639608, dengan pagu senilai Rp 202.682.032. Paket ini berisi belanja minyak pelumas untuk kendaraan roda 4 sebanyak 12 unit selama 12 bulan. Kemudian minyak pelumas untuk roda 2 sebanyak 29 unit selama 6 bulan. Kemudian bahan bakar kendaraan pejabat eselon 2 sebanyak 1 unit selama 12 bulan. Bahan bakar kendaraan operasional roda 4 sebanyak 28 unit, roda 2 sebanyak 29 unit, Serta bahan bakar genset.
Selain sejumlah paket pengadaan bahan bakar minyak dan pelumas, tutur pentolan LSM, sejumlah paket lain sebagaimana disebut diatas, jelas tidak mungkin dilaksanakan secara swakelola tipe 1. Hal itu merujuk pada Peraturan LKPP 8/2018 tentang pedoman swakelola, bahwa yang dimaksud dengan swakelola 1 adalah swakelola yang direncanakan, dikerjakan, serta diawasi sendiri oleh KLPD (dalam hal ini Disbudpar Jatim), maka pemenuhan barang seperti BBM hanya bisa dilakukan dengan cara membeli dari pasar atau penyedia.
“Maka paket ini seharusnya dilangsungkan dengan cara Pengadaan Langsung (PL), atau dengan cara Dikecualikan. Jika pengadaan dipaksakan lewat swakelola tipe 1, yang berarti Disbudpar Jatim harus memproduksi sendiri BBM, lalu darimana logikanya? Punya kompetensi apa dia? Jika data pada sirup LKPP tidak kunjung ada pembenahan, maka saya rasa hal itu setara dengan kebohongan publik, karena informasi pada sirup LKPP adalah produk hukum, “terangnya. (Dre)
Editor : Redaksi