Laporan : Tik
BONDOWOSO, suara public.com - Budaya kerapan sapi dimulai pertama kali di era pemerintahan Pangeran Katandur (Syeh Ahmad Baidawi), di keraton Sumenep Madura, pada abat ke-15 (1561 M). Kendati budaya lokal, namun kemasannya sempurna dengan jiwa Indonesia. Sehingga dapat menekankan pada poin-poin mendasar seperti, kegigihan dan gotong royong sehingga budaya ini sekarang sudah menjadi GO internasional.
"Kerapan sapi ini mempunyai filosofi yang sangat tinggi didalam kehidupan masyarakat dan budaya yang sudah mengakar. Tradisi kerapan sapi yang sudah turun temurun ini, sejarahnya dibangun oleh kreativitas petani," kata Zainullah.
Namun, diera modern ini kerapan sapi sudah terkontaminasi budaya lain, dimana budaya asli kerapan sapi sudah menjadi objek ekspletasi. Padahal kerapan sapi merupakan salah satu budaya khas Madura yang harus dipertahankan.
Selain dipulau Madura, kerapan sapi sudah banyak diminati diluar pulau, salah satunya di Kabupaten Bondowoso, Kecamatan Wringin. Sebab, beberapa hari yang lalu warga desa yang berada di wilayah Wringin, khususnya desa Banyuwulu, Ampelan, dan. Gubrih, memperlombakan sapi kerapannya didesa Banyuwulu yang diikuti 30 pasang sapi. "Ritual ini dilakukan setiap tahun, pada bulan Oktober dan November,"Kata warga Kecamatan Wringin ini.
Namun, menurut keyakinan mereka, budaya kerapan sapi di perlombakan ditanah yang lapang sambil memohon kepada Sang Maha pencipta agar segera cepat turun hujan, dan petani cepat bercocok tanam. Selain itu kerapan sapi juga sering dilaksanakan di hari ulang taun kemerdekaan. Zainullah, menyatakan, budaya ini merupakan warisan yang harus dilestarikan. "Untuk itu kami pertahankan, karena kerapan sapi ini merupakan salah satu budaya warisan nenek moyang kita,"ungkapnya.
Editor : Redaksi